TfMpGSdlTfroGfWiGUz5BSY5Td==
Light Dark
Kuflet, Silaturahmi, dan MoU di Langsa

Kuflet, Silaturahmi, dan MoU di Langsa

Langsa menjadi kota terakhir yang disinggahi Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang
Daftar Isi
×
Foto: IAIN Langsa dan Komunitas Seni Kuflet menandatangani MoU pendampingan program-program seni untuk mahasiswa IAIN Langsa. Kuflet menyambut antusias. (Foto: Riky Chandra | Majalahelipsis.id)

Oleh: Muhammad Subhan

RAJA BERITA - Langsa menjadi kota terakhir yang disinggahi Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang dalam rangkaian perjalanan literasi di Provinsi Aceh. Tujuannya kali ini adalah IAIN Langsa.

Sabtu pagi, 14 Juni 2025, pukul 10.00 WIB, tim Kuflet tiba di jantung Kota Langsa. Sebelumnya kami sempat singgah di Idi Rayeuk, dijamu kopi dan penganan ringan oleh salah satu alumni Sanggar Cempala Karya (CeKa) Banda Aceh, juga oleh Aziz, alumni Kuflet yang telah kembali ke kampung halamannya.

Kebahagiaan Kuflet terletak pada sambutan hangat dari para sahabat dan saudara di setiap kota yang disinggahi. Selain menjadi ajang bernostalgia dan melepas rindu yang telah lama tertahan, momen-momen pertemuan itu selalu menyimpan kesan mendalam.

Di Langsa pun demikian. Tim Kuflet disambut perupa Rusli Juned—yang sempat saya kira saudara kembar dari Kanda Sulaiman Juned karena nama belakang mereka sama: “Juned”. Ternyata bukan, meskipun keduanya berasal dari Pidie, sama seperti saya.

Yang menarik di Langsa, IAIN Langsa mengajukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kuflet untuk sejumlah program pendampingan mahasiswa. Menurut Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Prof. Dr. Iskandar Budiman, M.CL., kampus ini memiliki banyak mahasiswa berbakat di bidang seni, tetapi masih membutuhkan ruang yang lebih luas untuk menyalurkan potensi tersebut.

Terkait seni, mahasiswa IAIN Langsa juga telah banyak menorehkan prestasi.

Kuflet menyambut baik ajakan kerja sama itu. Naskah MoU disediakan oleh pihak IAIN Langsa dan ditandatangani kedua belah pihak di sela-sela diskusi seni bersama Kuflet.

Pimpinan Kuflet, Dr. Sulaiman Juned, M.Sn., menyampaikan bahwa sebagai komunitas seni yang telah berkiprah lebih dari 28 tahun, Kuflet aktif melakukan pendampingan literasi di kampus-kampus dan sekolah-sekolah di Sumatera Barat, Aceh, dan kota-kota lainnya di Indonesia. Teknologi yang berkembang saat ini, menurutnya, telah memudahkan komunikasi lintas daerah meski terpisah jarak.

Program pendampingan dapat dilakukan melalui seminar, workshop/pelatihan, atau penjurian karya, baik secara daring melalui Zoom dan sejenisnya, maupun secara langsung. IAIN Langsa bisa mengundang tim Kuflet ke kampus mereka, atau sebaliknya, mahasiswa IAIN bisa datang langsung ke Kuflet di Padang Panjang.

Kuflet juga membuka ruang publikasi karya mahasiswa melalui media yang dikelolanya, seperti Majalahelipsis.id, baik versi website, e-magazine, maupun versi cetak. Di Majalahelipsis.id, mahasiswa dapat mengirimkan puisi, cerpen, esai, dan resensi buku. Khusus cerpen yang dimuat di kolom "Gelanggang" dan lolos kurasi, penulis diberikan honor meski jumlahnya tidak besar.

Majalahelipsis.id bisa menjadi batu lompatan awal agar karya mahasiswa IAIN Langsa menembus media-media arus utama di tingkat nasional.

Selain itu, Kuflet juga siap membantu mahasiswa menerbitkan buku, baik tunggal maupun antologi bersama. Kuflet bersedia hadir—secara luring maupun daring—untuk membedah buku tersebut agar penerbitan buku tidak sekadar simbolis, melainkan juga diapresiasi melalui diskusi yang hasilnya dapat dituliskan dan dipublikasikan.

Masih banyak peluang kerja sama yang dapat dijajaki antara IAIN Langsa dan Kuflet.

Meski tim Kuflet hanya berada sekitar dua jam di kampus ini, waktu yang singkat itu meninggalkan kesan yang sangat mendalam.

Usai dari IAIN Langsa, tim Kuflet dijamu kopi Aceh dan kue timphan di salah satu warung kopi ternama di pusat kota Langsa oleh perupa Rusli Juned. Di warung kopi ini, obrolan seputar seni kembali mengalir.

Selesai ngopi, Si Biru—kendaraan operasional Kuflet—memerlukan ruang tambahan untuk menyimpan barang yang makin padat. Sebuah rak tambahan dipasang di atas atap. Sepanjang perjalanan di Aceh, Kuflet menerima banyak buah tangan. Alhamdulillah. Ditolak segan, tak ditolak—Si Biru pun harus menyesuaikan ruangnya.

Itulah kebahagiaan dari silaturahmi. Dan benar adanya, silaturahmi membuka pintu rezeki. Kuflet mengamalkan kekuatan itu: “The Power of Silaturahmi”.

Sore harinya di Langsa, kami kembali dijamu oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Langsa, sahabat saya, Putra Zulfirman. Kami menikmati kopi di salah satu sudut warung di Langsa. Putra bercerita banyak tentang pengalamannya sebagai wartawan di masa konflik Aceh—kisah yang penuh suka dan duka.

“Kalau semua kisah itu ditulis dan dibukukan, pasti bukunya keren sekali,” kata saya. Putra hanya tersenyum. Tapi saya tahu, suatu hari nanti ia akan menuliskannya.

Kami juga berbincang tentang kejayaan masa lalu Kerajaan Islam di Aceh.

Langsa kini berstatus kota madya, dulunya merupakan pemekaran dari Aceh Timur. Sejarah mencatat bahwa di Aceh Timur pernah berdiri Kerajaan Perlak, juga dikenal sebagai Kesultanan Peureulak. Merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri sekitar tahun 840 hingga 1292 M, berpusat di wilayah Peureulak.

Kerajaan Perlak menjadi pelopor penyebaran Islam di Nusantara dan berperan penting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. Ia dikenal aktif menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di Sumatra. Meski peninggalan fisiknya sulit ditemukan, namun jejak tradisi dan nilai-nilai Islam masih terasa kuat di sana—sebuah bukti warisan budaya yang masih hidup.

Kemunduran Perlak diyakini karena beberapa faktor, antara lain wafatnya Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat dan pengaruh dari Kerajaan Samudra Pasai. Perdebatan mengenai siapa yang lebih dulu antara Perlak dan Samudra Pasai masih berlangsung, tetapi banyak sejarawan sepakat bahwa Perlak adalah salah satu kerajaan Islam tertua dan paling berpengaruh.

Memang, membicarakan sejarah selalu mengasyikkan—apalagi sambil ngopi. Ruang-ruang dialog seperti itu harus terus dihidupkan di Aceh. Dan narasi-narasinya mesti dituliskan lebih banyak lagi agar menjadi jejak ingatan yang lekat bagi generasi mendatang.

0Komentar